Ada suatu peribahasa yang mengatakan “bersusah-sudah dahulu, bersenang-senang kemudian”. Peribahasa yang sangat menyentuh bagi setiap insan di dunia. Karena tidak ada kata instan untuk sukses. Harus ada perjuangan bahkan pengorbanan. Begitu pula bagi seorang santri, peribahasanya jadi “duka di pondok, bahagia kemudian”. Santri kok pengen instan, mbah google aja butuh bertahun-tahun untuk mengetahui banyak ilmu kok.
Layaknya cerita kera sakti Sun Gokong, sang pengembara yang mencari kitab suci ke barat bersama Biksu Tong Sam Cong, Chu Batgai, Wujing, dan Siluman Kerbau Gu Moong. Para tokoh tersebut bisa menjadi sebuah gambaran untuk para santri yang akan dan atau sedang mondok. Perjalanan yang sangat jauh disertai banyak rintangan hanya untuk mencari kitab suci beserta kebenarannya.
Dalam serial TV tersebut, dikisahkan seekor kera sakti yang harus menebus segala dosanya dengan berguru kepada Biksu Tong sekaligus menemaninya mengembara ke arah barat mencari kitab suci. Selama perjalanan mereka selalu menemui aral dan rintangan. Apalagi dari musuh bebuyutannya si siluman kerbau Gu Moong. Yang menarik tidak hanya kisah perjuangannya saja, tetapi kisah humor dan cara bagaimana mengekang hawa nafsu untuk tidak marah. Setiap Sun Gokong akan marah, maka Biksu Tong cukup merapalkan sebuah mantra yang otomatis akan membuat si kera sakti kesakitan akibat mahkota di kepalanya.
Duka di Pondok Membuat Santri Hebat
Analogi cerita diatas hanya sebuah hikmah yang patut diambil. Karena jika santri ingin sakti mandraguna maka berjuang dan berkorban harus dilakukan. Kalau kera sakti memakai sebuah mahkota untuk mengekang hawa nafsunya. Maka, seorang santri memakai songkok, kopyah, peci, dan sebagainya. Tidak perlu menunggu sang Kiai untuk merapalkan doa-doa untuk sekedar mengekang hawa nafsu seorang santri. Tapi santri harus sadar diri, karena setiap hari para Kiai, Guru, dan Orang Tua pasti mendoakan.
Jangan hanya dengan alasan tidak kerasan lantas membuat mental dan nyali menciut kemudian minta boyong. Semua itu adalah proses adaptasi dan penyesuaian diri setelah sekian lama nyaman dalam belaian kasih sayang orang tua. Seorang santri di pondok diajari untuk mandiri dan bersosial karena kelak mereka tidak mungkin akan bergantung kepada orang tua selamanya.
[irp posts=”529″ name=”Gemblengan: Metode Ampuh Pendidikan Pesantren”]
Bisa dibilang mondok itu sangat berat, apalagi awal-awal berada di pondok. Kenyamanan sekian lama di rumah pasti membayanginya. Semua itu harus dibuang jauh-jauh, kemudian harus ditanamkan yang namanya tekad. Mondok atau nyantri untuk masa depan yang cerah. Duka selama di pondok adalah bekal yang berharga ketika nanti bermasyarakat. Tidak ada kata instan, tetapi adanya kata berjuang dan berkorban.
Bahagianya Santri di Masa Depan
Coba kita melihat dan menelusuri rekam jejak para Kiai dan Santri yang sekarang sukses. Sukses disini bukan kaya harta tapi, dalam artian mereka bisa dijadikan panutan. Ada yang jadi presiden, Wakil Presiden, Menteri, Ulama Terkemuka, Pengusaha, Guru, Dai Youtuber, dan lain-lain. Sudah banyak contohnya, Beliau-beliau para Kiai selama nyantri juga tidak instan. Bahkan mereka juga merasakan yang namanya kelaparan bahkan sulitnya memahami ilmu yang diberikan para gurunya selama bertahun-tahun. Tapi berkat kegigihan, sabar, dan ikhlas jadilah Beliau-beliau seperti saat ini.
Walhasil, bagi para santri jangan takut kalau mondok. Gak kerasan, makan gak enak, tidur gak nyenyak, harus serba antri, banyak kegiatan dan sebagainya, itu semua adalah proses yang mendewasakan diri. Bagi bapak ibu wali santri, ikhlaskan anaknya mondok. Semua proses di pondok harus diyakini untuk membentuk pribadi anak yang baik. Jadi apapun yang terjadi kepada anaknya selama di pondok haruslah di support penuh lahir batin. Termasuk kalau anaknya nakal harus ikhlas di takzir sama pengurusnya, yang penting tidak sampai diluar batas wajar. Semoga tulisan ini bisa membuka hati dan pikiran pembaca serta semoga yang di pondok selalu diberikan kekuatan. Aamiin. Wallahu A’lam. []