Bedug Sebagai Warisan Kearifan Lokal Nusantara

Bedug Sebagai Warisan Kearifan Lokal Islam Nusantara

Bedug Sebagai Warisan Kearifan Lokal Islam NusantaraBedug merupakan alat penanda awal, sebelum adzan. menjadi penanda masuknya waktu sholat bagi masyarakat Islam di Nusantara.

Kemarin Siang Masjid Thoriqul Huda Kandangan mendatangkan bedug baru karena bedug yang lama sudah mengalami kerusakan yang cukup parah dan perlu diperbaiki, Maka Takmir pun berinisiatif untuk sekalian membeli bedug yang baru.

Bedug yang lama sudah seumuran dengan pembangunan masjid pertama kali sejak tahun 1924 hingga sekarang.

Namun bagaimanakah sejarah awal bedug menjadi ciri khas Islam Nusantara?

Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.

Saat itu nama “bedug” belum biasa digunakan. Istilah lainnya adalah “teg-teg”, kelompok membraphone menyerupai bedug. Fungsinya sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal). “Karena Kidung Malat menyebut bedug dan teg-teg, maka keduanya tentu berlainan. Teg-teg sejenis genderang dengan ukuran lebih besar daripada bedug,” tulis Dwi Cahyono dalam “Waditra Bedug dalam Tradisi Jawa (1),” yang dimuat Kompas, 24 September 2008.

Kemudian penjelajah Belanda, Cornelis de Houtman (1595-1597) dalam D’eeste Boek –sebuah catatan pelayaran Belanda yang pertama ke Nusantara– mencatat keberadaan bedug, bonang, gender, dan gong. Houtman menulis bahwa bedug populer dan tersebar luas di Banten. Di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya. “Bunyinya menjadi tanda mengenai adanya bahaya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam,” tulis Dwi.

Orang China juga punya andil. Seorang China-Muslim Cheng Ho dan bala pasukannnya pernah datang sebagai utusan dari maharaja Ming. Dialah yang mempertunjukkan bedug di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris ke tentara yang mengiringinya. Konon, ketika Cheng Ho hendak pergi dan memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi bagian dari masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.

Ternyata banyak sekali kalangan yang ikut andil didalam sejarah bedug yang menjadi warisan Islam Nusantara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *