Agama menganjurkan orang yang hidup untuk menandai makam orang Islam agar mudah dikenali di kemudian hari untuk pelbagai kepentingan, yaitu seperti juga ziarah makam ulama dan para wali, memakamkan kerabatnya kelak di dekat makam tersebut atau sekadar menziarahinya.
Penandaan makam dapat dilakukan melalui peletakan batu, pemasangan papan, batu nisan, atau patok kuburan di atas makam sebagaimana keterangan As-Syarbini berikut ini:
وَأَنْ يَضَعَ عِنْدَ رَأْسِهِ حَجَرًا أَوْ خَشَبَةً أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ عِنْدَ رَأْسِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ صَخْرَةً وَقَالَ : أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي لِأَدْفِنَ إلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي
Artinya, “Peletakan batu, kayu, atau benda serupa itu (dianjurkan) di atas makam pada bagian kepala jenazah karena Rasulullah SAW meletakkan batu besar di atas makam bagian kepala Utsman bin Mazh‘un. Rasulullah SAW bersabda ketika itu, ‘Dengan batu ini, aku menandai makam saudaraku agar di kemudian hari aku dapat memakamkan keluargaku yang lain di dekat makam ini,” (Lihat As-Syarbini, Al-Iqna pada Hamisy Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 571).
Lalu bagaimana dengan masyarakat yang menunjukkan cintanya kepada seorang ulama yang telah wafat karena jasanya menyebarkan Islam atau kepada ahli kubur yang tidak lain adalah gurunya sendiri dengan mengecup makamnya saat berziarah?
Ulama di lingkungan Mazhab Syafi’i berbeda pendapat perihal ini. Sebagian ulama menyatakan bahwa praktik tersebut dimakruh. Sebaliknya, ulama lain menganjurkan peziarah untuk mengecup makam para wali.
وفي تقبيل ضرائح الأولياء خلاف فعند حج مكروه وعند م ر سنة
Artinya, “Perihal mengecup makam para wali, ulama berbeda pendapat perihal ini. Menurut Syekh Ibnu Hajar, tindakan tersebut makruh. Sementara menurut Syekh M Ar-Ramli, tindakan demikian dianjurkan,” (Lihat Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin, Busyral Karim, [Beirut, Darul Fikr: 1433-1434 H/2012 M], juz II, halaman 398).
Dari pandangan para ulama ini, kita menarik pelajaran untuk bijaksana dalam bersikap. Kita sebaiknya tidak segera mengingkari praktik tersebut ketika menyaksikan sebagian peziarah mengecup makam para wali atau makam para ulama.
Orang yang berkurban berhak untuk mengambil sebagian kecil daging kurban sembelihannya. Hal ini dimaksudkan agar mereka yang berkurban mendapatkan kelimpahan berkah dari ibadah kurban yang sangat dianjurkan itu, sebagaimana Rasulullah SAW lakukan. Tetapi bagian mananya yang sebaiknya diambil dari hewan kurban?
Ulama berbeda pendapat perihal memakan daging kurban oleh mereka yang berkurban. Sebagian ulama mewajibkannya karena ada ayat yang memerintahkannya. Tetapi sebagian ulama lain menyatakan tidak wajib makan karena kurban adalah bagian dari syiar agama.
Ulama Mazhab Syafi’i kemudian memutuskan kesunnahan memakan sebagian kecil dari daging kurban. Pilihan ini merupakan dianjurkan untuk keluar dari dua kutub perbedaan pendapat di kalangan ulama.
وَالأفضل التَّصَدُّقُ بِجَمِيعِها) لِأَنَّهُ أَبْعَدُ منْ حَظِّ النَّفْسِ (إلَّا لُقْمَةً) أو لقمتين (أَوْ لُقَمًا يتبرك المضحى بأكلهَا) فيقصد به البَركة (فإنه يسن له ذلك) خروجا من خلاف من أوجب الأكل
Artinya, “(Utamanya adalah menyedekahkan seluruhnya [daging kurban]) karena itu lebih menjauhkan dari nafsu keserakahan (kecuali sesuap) dua suap, (atau beberapa suap di mana orang yang berkurban mencari berkah dengan memakannya) ia berniat keberkahan dengan memakannya (karena sungguh memakannya itu disunnahkan baginya) untuk keluar dari ikhtilaf ulama yang mewajibkannya,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], halaman 272).
Rasulullah SAW sendiri memakan daging kurban sunnahnya. Meskipun ibadah kurban merupakan kewajiban baginya, Rasulullah tidak pernah menyembelih satu hewan kurban yang wajib itu.
Sebagaimana diketahui, seseorang haram memakan daging kurban wajib, seperti kurban karena nazar. Beliau menyembelih lebih dari satu hewan kurban yang mana hewan kedua dan seterusnya menjadi ibadah kurban sunnah yang boleh dimakan dagingnya.
ويسن أن يكون ما يتبرك به من كبد الأضحية للاتباع لأنه صلى الله عليه وسلم كان يأكل من كبد الأضحية الزائدة على الواجبة فإنه صلى الله عليه وسلم وإن كانت الأضحية وا جبة في حقه صلى الله عليه وسلم كان يذبح أكثر من الواجب
Artinya, “Daging yang dijadikan tabarrukan sebaiknya adalah bagian hati hewan kurban karena meneladani Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memakan hati hewan kurban yang tambahan dari kurban wajibnya. Pasalnya, meskipun kurban adalah wajib bagi Rasulullah, beliau SAW menyembelih lebih dari seekor hewan kurban yang wajib itu,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], halaman 272).
Ulama Syafi’iyah menganjurkan orang yang berkurban untuk mengambil bagian hati dari hewan kurbannya. Berdasarkan hadits Rasulullah, ulama Mazhab Syafi’i bertafa’ul (meneladani dengan harapan) dengan memakan hati hewan kurban sebagaimana penduduk surga pertama kali menyantap hati hewan yang disediakan Allah SWT.
وحكمة ندب أكل الكبد التفؤل بدخول الجنة لأنه أول ما يقع به إكرام الله تعالى لأهل الجنة لما ورد في الحديث أن أول إكرامه تعالى لهم بأكل زيادة كبد الحوت الذي عليه قرار الأرض وهي القطعة المعلقة في الكبد
Artinya, “Hikmah anjuran memakan hati hewan kurban adalah harapan (tafa’ul) masuk surga karena yang pertama kali terjadi adalah hati yang dihidangkan bagi ahli surga sebagai bentuk penghormatan Allah kepada mereka. Dalam hadits tersebut bahwa penghormatan Allah pertama kali terhadap penghuni surga adalah pemberian makan lebihan hati ikan paus yang padanya tetap bumi. Lebihan itu adalah potongan daging yang tergantung di hati,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], halaman 272).
Dari pelbagai ketarangan ini, kita dapat menganjurkan orang yang berkurban untuk mengamanahkan kepada panitia kurban agar memisahkan bagian hati hewan kurban untuk diberikan kepada mereka yang berkurban. Kami menyarankan agar hati hewan kurban itu dipastikan steril dari bakteri atau cacing hati sebelum dikonsumsi. Wallahu a‘lam.