Gus Dur memang tinggal kenangan. Kini tokoh besar NU itu telah tiada. Jasadnya terkubur di tanah kelahirannya di Jombang, Jawa Timur. Tapi banyak orang yang punya kesan mendalam tentang sosok cucu pendiri NU itu. Salah satunya adalah teman saya, Edi Susanto. Edi, adalah teman satu kosan dengan saya saat masih kuliah di UI. Saya masih ingat, Edi pernah cerita tentang Gus Dur.
Ceritanya begini. Waktu itu Gus Dur pernah satu apartemen dengan Kyai Mustofa Bisri. Benar tidaknya mungkin lebih baik dikonfirmasi ke Pak Kyai Mustofa Bisri atau Gus Mus. Kata Edi, cerita itu terjadi saat Gus Dur dan Mustofa menuntut ilmu di Mesir. Artinya saat itu keduanya masih anak muda.
Suatu saat berkunjunglah salah seorang teman dari Indonesia, yang kata si Edi dalam ceritanya putra seorang kyai besar di Indonesia. Sayangnya Edi tak menyebut nama.
Karena kedatangan tamu, keduanya berniat membantu. Saat tamu masuk, dipersilahkannya, mereka pun ngobrol ngalor ngidul. Tak terasa waktu berjalan, tuan rumah berniat menjamu sang tamu.
Gus Mus kebagian tugas masak. Sementara Gus Dur menyiapkan peralatan makan. Menata tempat makan. Makanan pun tanak. Tapi piring belum siap, karena belum dicuci. Kebetulan tempat cuci piring langsung bisa dilhat dari tempat makan. Maklum apartemen mahasiwa.
Gus Dur dengan santainya mencuci piring. Sang tamu memperhatikan kegiatan sang tuan rumah. Ia merasa sangat dihormati. Tapi saat melihat Gus Dur akan mengelap piring yang akan dipakai untuk makan, kaget bukan kepalang. Dilihatnya, Gus Dur mengelap piring dengan celana dalam gusdur.
Sang tamu langsung merasa mual dan nafsu makannya tiba-tiba hilang melihat piring yang akan dipakai untuk alas makan dilap pakai celana dalam. Apalagi saat Gus Dur mengelap sendok dan gelas dengan celana dalam gusdur juga. Hilang terbang selera makan.
Tamu pun bergegas pamitan tanpa tunggu makan lagi. Ia berjingkat setelah ucap pamit pada tuan rumah. Gus Mus hanya melongo keheranan, karena dilihatnya sebelumnya itu sang tamu antusias untuk makan. Kejadian itu berlalu sudah.
Sampai kemudian Gus Mus ketemu lagi dengan sang tamu di tanah air. Sang tamu pun curhat tentang tragedi celana dalam itu pada Gus Mus. Gus Mus sendiri rada kaget mendengarnya.
Makanya saat bersua dengan Gus Dur, tragedi celana dalam itu ditanyakannya. Jawaban Gus Dur, katanya karena tak ada lap makanya dia pakai celana dalam. Tapi kata Gus Dur, celana dalam itu baru dibelinya ditoko dan baru dikeluarkan dari wadahnya. Jadi belum dipakai sama sekali. Mendengar jawaban Gus Dur, Gus Mus tak kuat menahan tawa.
“Barang siapa mencintai Gusdur, maka Hidupnya akan jenaka. Dan Barang siapa tidak mencintai Gusdur, maka tidak apa-apa”
Abu Nawas sebagai rakyat yang hidup di bawah kekuasaan khalifah, sering menyelipkan kritiknya lewat humor-humor jenaka hingga mesti mengena, akan tetapi khalifah Harun al-Rasyid tak bisa marah dibuatnya. Seperti pada kisah berikut ini;
Alkisah, keramaian dan geliat ekonomi pasar Baghdad tiba-tiba dihebohkan dengan celotehan Abu . “Wahai umat manusia, ketahuilah! Saya, Abu Nawas, adalah orang yang sangat membenci pada yang Haq (kebenaran) dan suka kepada fitnah, dan saya adalah orang yang lebih kaya dibandingkan Allah”, Teriaknya. Tak ayal, teriakannya membuat geger seisi pasar, yang memang penduduk muslim taat.
Omongan Abu Nawas ini sangat aneh karena selama ini dia dikenal sebagai orang yang alim dan bertakwa, meskipun memang suka bersikap jenaka. Walhasil, Iapun ditangkap oleh polisi kerajaan dan dihadapkan kepada khalifah Harun al-Rasyid.
“Hai Abu Nawas, benarkah engkau berkata begitu?” tanya sang khalifah.
“Benar Tuan,” jawabnya kalem.
“Mengapa engkau berkata begitu, sudah kafirkah engkau?” saut khalifah.
“Ah, saya kira khalifah juga seperti saya. Khalifah juga pasti membenci perkara yang haq,” ujarnya dengan serius.
“Gila benar engkau!” bentak khalifah mulai marah.
“Jangan marah dulu wahai khalifah, dengarkan dulu keterangan saya,” kata Abu Nawas meredakan kemarahan khalifah.
“Keterangan apa yang ingin engkau dakwahkan. Sebagai seorang muslim, aku membela dan bukan membenci perkara yang haq, kamu harus tahu itu!” ujar khalifah.
“Tuan, setiap ada orang yang membacakan talqin saya selalu mendengar bahwa mati itu haq dan neraka itu haq. Nah siapakah orangnya yang tak membenci mati dan neraka yang haq itu? Tidakkah khalifah juga membencinya seperti aku?” ujarnya menjelaskan.
“Cerdik pula kau ini,” ujar khalifah setelah mendengarkan penjelasan Abu Nawas.
“Tapi, bagaimana dengan pernyataanmu yang menyukai fitnah?” tanya sang khalifah menyelidik.
“Sebentar, khalifah barangkali lupa bahwa di dalam Alquran disebutkan, bahwa harta benda dan anak-anak kita adalah fitnah. Padahal khalifah juga menyenangi harta dan anak-anak seperti halnya saya. Benar begitu khalifah?”
“Ya, memang begitu, tetapi, mengapa kau mengatakan lebih kaya dibanding Allah yang Mahakaya?” tanya khalifah Harun al-Rasyid.
“Saya lebih kaya dari Allah, karena saya mempunyai anak, sedang Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan.”
“Itu memang benar, tetapi apa maksudmu berkata begitu di tengah pasar sehingga membuat keonaran,” tanya sang khalifah.
“Dengan cara begitu, saya akan ditangkap dan kemudian sihadapkan kepada khalifah seperti sekarang ini,” Jawabnya kalem.
“Apa perlunya kau menghadapku?”
“Agar bisa mendapat hadiah dari khalifah,” jawab Abu Nawas tegas.